8:55 AM | Author: Alicia Komputer

”The Sulit Air Dreams”

Oleh : Drs. H. Hamdullah Salim

Pesawat melintasi kawah Gunung Kerinci,

yang kelabu diliputi awan

Dan tidak lama kemudian, sang pramugari pun berseru:

”Please, your attention! Perhatian, perhatian!

Para penumpang yang kami hormati,

dalam waktu tidak berapa lama lagi pesawat ini akan mendarat

di bandar udara ”Padang Riburibu Sulit Air”

Mendengar nama itu hatiku tersentak, darahku berdesir

”Lampu akan dipadamkan. Silakan menghidupkan lampu baca! Sudilah menegakkan sandaran kursi, mengikatkan sabuk pengaman sampai pesawat ini berhenti dengan sempurna!”

Kuambil teropong dan lewat jendela kaca kunikmati panorama alam

Di bawah terhampar Danau Singkarak, airnya biru menyejukkan mata

Duhai.... beriak-riak bergelombang di sapu angin, melambai-lambai,

bak lambaian padi-padi muda di bentangan sawah nan menghijau

Terlihat perahu-perahu nelayan berkayuh menebarkan jala

Dan beberapa ’speed boat” yang berlari dengan cepat

Ini benar-benar pemandangan langka yang jarang kualami

Di seberang, di utara, melintas kereta api, berasap cerobongnya,

sarat membawa penumpang dan batubara

Merambat di rel baja bagaikan rumahgadang berjalan,

begitu gambaran masa kecilku melihat kereta api dari Sitinjau Laut

Oh, cantiknya jembatan Batang Ombilin,

Tempat danau melepas kelebihan air yang meluncur di kolongnya

Di sekitar ada rumah makan, toko, kios lkan bilih dan oleh-oleh,

bus dan kenderaan yang parkir, masih seperti dulu juga

Terlihat juga mesjid pinggir danau di Sumpur yang kukenal dulu

Jauh di atas, di perbukitan terbentang jalan raya Trans Sumatra

Di bawahnya bertebaran villa, tempat wisatawan menikmati danau

Terpancar pesona Bukit Barisan, sumarak ranah Minangkabau

Pesawat semakin merendah dan melambat,

mengambil ancang-ancang, memasuki landasan dari arah Aripan

Di depan mata kini terpampang, indahnya nagari-nagari,

yang dulu disebut Kecamatan Sepuluh Koto di Ateh

Aduhai, nampak Batang Ombilin jalan berliku,

mengalirkan airnya mulai dari Katialo, Paninjauan, Tanjung Balit, akhirnya dengan setia dan sepanjang zaman, dimasukinya

haribaan tanah kelahiranku Sulit Air tercinta.

Dengan bantuan ketiga anaknya Batang Balam, Ompang dan

Batang Siaru, dilayaninya kebutuhan para sanakku,

warga lembah Gunung Merah-Putih,

sebelum bergabung dengan Batang Ombilin, menuju Selat Malaka.

Teropong semakin kurapatkan, mengamati aliran air Batang Katialo,

yang ternyata kini besar, lebar, dan bersih,

dengan air yang melancar deras

Dari sungai itu terbentang beberapa polong air yang dialirkan

menuju sawah, ladang, industri rumah dan pabrik

Ada juga kincir angin, airnya digunakan untuk berbagai kenutuhan Gunung Merah-Putih, Guguok Muncuong, Guguok Nyandau,

dan Bukik Sundak Langik di belahan sebelah timur,

Sibumbun Betina, Sibumbun Jantan dan Guok Kumbangan di utara

Guok Tarogoung dan Guok Sarikieh di sebelah barat,

dan Guok Jonggi di penjuru selatan,

bagai tonggak-toggak penjaga nagari, bermandikan cahaya elektrik

bagaikan gadis-gadis bersolek manja hendak ke pesta

Wahai...antara pinggang gunung, bukit dan guguk-guguk itu,

kini terbentang jalan raya, juga bentangan kawat-kawat baja,

tempat lori-lori bergantung dan berlari-lari ria,

tumpangan para wisatawan berhibur diri,

bak lori di Taman Mini atau lori semen Indarung masa dahulu

Di sepanjang batas delapan puluh kilometer persegi ulayat Sulit Air,

bertaburan rumah, pabrik, kampus, kantor, sentra kerajinan rakyat

Surau-surau di sepanjang sungai, mesjid dan sekolah di sana-sini.

Hotel-hotel, obyek-obyek wisata, di beberapa pojok dan simpul kota

Pesawat pun mendarat mulus di bandara Padang Ribu-ribu

Padang Riburibu, wahai lintasan jalan kaki masa bocahku,

ke Kacang atau ke Tembok pada masa silam, bila hendak

naik kereta api ke Solok atau Padangpanjang, siapa kira,

engkau jadi begini gagah dan banyak disebut orang sekarang?

Di di tangga pesawat, kulayangkan pandang ke anjungan bandara

Di puncak bangunan yang bergonjong itu,

terpampang suatu baliho besar berhiaskan neon warna-warni:

”Welcome To/ Selamat Datang di Kota Santri dan Wisata Sulit Air”

Membaca baliho itu rasa berdetak lagi jantungku

Di apron, sedang parkir dua pesawat,

dan di ruang tunggu bandara, berlalu lalang macam-macam orang, banyak pula yang berhidung mancung, berkulit bule,

begitu asing mereka bagiku, tidak seorangpun yang kukenal

Petugas bandara yang lelaki berpeci, berbaju gunting cina,

perempuan berlilit dan berbaju kurung, seperti murid PSA masa dulu.

Semua ramah berikan memberikan layanan,

menebarkan senyum, menyebarkan harum

Aku kembali tersenyum ketika naik taxi, namanya ”Sarikie Taxi”

Keluar bandara, terbentang dua jalan besar, ke utara dan ke selatan

Aku pilih jalan ke utara, lewat Bukit Kandung, walau jauh memutar

Di sepanjang jalan toko, rumah, warung, kantor, bengkel, SBPU

Sepuluh menit kemudian bersua suatu kompleks bangunan besar,

amat menggetarkanku : ”Pondok Pesantren Modern Gontor Sulit Air”

Megah dan jombang, menara mesjidnya tinggi menjulang langit

Terlihat ratusan santri berpakaian koko berbaris memenuhi lapangan

Terlihat ruangan kelas berjejer, asrama, aula, dan entah apa lagi,

kini kabarnya telah banyak mencetak ulama dan da’i-da’i kondang.

Di sekitar banyak hotel, tempat bermalam para wisatawan,

para tamu dari nehara-negara Islam pun banyak menginap di situ.

Taxi sampai di pertigaan jalan Bukit Kandung,

di depan dua tanda panah, ke kiri menunjuk Batu Sangkar,

yang kanan mengarah ke Koto Tuo.

Oh, rupanya antara Bukit Kandung dengan Batu Sangkar,

kini terhubung oleh jembatan besar, yang melintasi Batang Ombilin

Supir taxi yang mengatakan demikian, yang juga menjelaskan

dari bandara Padang Riburibu kini ada penerbangan setiap hari ke

Jakarta, Palembang, Pekan Baru, Medan dan Kuala Lumpur

Dari Rawang ada kereta api membawa penumpang dan batu bara,

menuju Sawah Lunto, Solok, Padangpanjang dan Padang

Ada pula kereta api wisata yang melayani wisatawan lewat jalur itu,

dari Sulit Air ke Padang, mengitari nagari-nagari di sepanjang rel, menikmati pesona keindahan alam, dan dibeberapa tempat,

disambut dengan berbagai atraksi senibudaya Minangkabau

Dari Sulit Air terbentang pula jalan raya angkutan umum menuju

Ombilin, Singkarak, Solok, Sawahlunto, Talawi, dan Batusangkar

Sulit Air sungguh berada dipersimpangan jalan yang amat strategis

Terminal bus di Lapangan Koto Tuo, stasiun kereta api di Rawang

Kami sampai di gapura jalan yang bertuliskan:

”Selamat Datang di Kawasan Wisata Islami Talago Loweh”

Di kanan berdiri anggun kompleks ”Masjid Baitul Makmur” bertingkat

Ah, ingat aku Baharuddin Sutan Malako Cs, yang merintisnya dulu

Akulah dulu yang memberi nama mesjid itu, dan menurut supir taxi

mesjid itu punya kegiatan pendidikan tinggi menghapal Al Qur’an,

pusat pelatihan bela diri, pelatihan seni budaya Minang dan Islam, pusat kajian adat basandi syarak, dan pengajian akbar mingguan bersama da’i-da’i kondang, dari mana-mana jamaah berkunjung

Dari kompleks mesjid itu, samar-samar kudengar lagu kasidah, ditingkahi bunyi talempong, saluang dan puput sarunai, merdu sekali

Telaga di samping mesjid menjadi ”Kolam Renang Talago Loweh”

Terdiri dari tiga bagian terpisah: lelaki, perempuan dan anak-anak

Banyak dikunjungi peminat dari seluruh Sumatra Barat dan Riau

Di depannya berdiri ”Sulit Air International Hotel”, berbintang empat

Talago Loweh penuh toko cendera mata berciri Minang dan Islam

Pada penurunan, ditemui lagi tanda panah penunjuk jalan ke kiri:

”Alai Resort”, ”Taman Pemandian Lubuok Uok”, ”Limau Puruik”

Ke kanan adalah: ”Waduk Air Bersih Purangan”,

dengan kemajuan teknologi, menyedot air dari Danau Singkarak, untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Sulit Air

Lalu bertemu lapangan tennis, arena bulutangkis dan pondok wisata

”Sarikieh Taxi” memasuki ”Terminal Bus Koto Tuo”,

yang menempati bekas lapangan Koto Tuo sampai Pasar Koto Tuo, l

stadion pindah ke Lubuk Siami, pasar ke Balik Parik, hebat sekali

Sedang rumah-rumah penduduk banyak pindah ke perbatasan kota

Aku turun dari taxi, dari suatu pojok di bagian atas terminal kuamati

seluruh penjuru Sulit Air, kota santri dan wisata, sungguh menawan

Koto Gadang tertutup dengan bangunan bertingkat, perkantoran,

balaikota, balairungsari, DPRD, kantor swasta, dinas-dinas daerah

Pangka Titi dan Mesjid Raya masih seperti yang dulu,

namun ditengah kemegahan Sulit Air, terasa begitu kecil kini

Wisatawan naik jonjang saribu, sampai di Gunung Papan, dan dapat menyeberang ke Guok Muncuong, Sundak Langik, Sibumbun Jantan, Sibumbun Betina dengan lori gantung, berlari-lari riang di angkasa

dan terlihat sepuluh koto di ateh, Danau Singkarak, Batang Ombilin

Taxi bergerak lagi ke lembah Guok Tarogoung kawasan pemukiman

Memasuki jalan raya menuju Tanjung Alai di tepian Trans Sumatra,

di kiri Piek Ontang dengan bangunan ”Institut Teknologi Sulit Air”nya

Jauh di seberang terlihat ”Taman Rekreasi Batu Galeh” Taram

Juga ”Sentra Kerajinan Rakyat Guguok Jonggi” dan disebelah kanan

Sarikieh dengan ”Balai Penelitian dan Pembibitan Holtikultura”-nya

Habis Titi Jaruong, aku tersenyum lagi, ingat lagi masa lalu,

di suatu pojok ketemu suatu warung, dengan papan nama:

”Ompiang Badadieh Padang Bungka”

Kenderaan semakin ramai menuju jalan raya Trans Sumatra

Menjelang Tanjung Alai, kami berbelok kekiri, ke jalan lingkar selatan, melintasi Sarosah, Guok Jagak, Kunik Bolai, Siaru, lembah Gunung Papan, Sundak Langik, dan Rawang,

yang disepanjang kiri-kanan jalannya membentang kolam ikan,

di atasnya berenang kerumunan itik yang tengah bermain jenaka,

kebun sayur mayur dan sawah-sawah nan menghijau, duh sedapnya!

Sundak Langik penuh dengan antena dan perangkat telekomunikasi

Di Rawang ada pabrik briket dan pabrik buah-buahan dalam kaleng

Ada anak panah menunjuk ke kawasan ”Wisata Buru Babi Ikiek-ikiek”

disertai lukisan wisatawan membidik babi dengan senapan buru

Berbelok kembali ke utara, sampailah kami di Gontiang Guok Balang

Bertemu suatu rumah makan besar: ”Simbacang Restaurant”,

yang yang menyadikan menu masakan minuman spesial Sulit Air

Rasa lapar menyeretku berhenti di sini, sambil juga sholat di surau

Halaman parkir penuh sesak dengan kenderaan, tamunya melimpah

Menunya benar-benar khas Sulit Air: gulai ompuok, samba itam, samba panyikek, samba putiek macang, karabu maco, pai mansai,

goriang potai maco, niro, es karambie monuo, es aka kalamponang Kulihat ada tamu yang bergerak jakunnya, cupak-cepong suapnya,

mencopak kuleknya, dan keluar peluh dinginnya,

aku pun merasakan nikmatnya, sampai tiga kali minta tambuh

Di depan melintas kereta api Pisalak-Rawang membawa batu bara

Terdengar bunyi pluitnya, berdentam-dentam rodanya, asyik sekali!

Sesudah makan, kami lewati ”Museum Gontiang Bigau”, kemudian Kubang Duo yang banyak sekolah, Mantagi dan Linawan dengan ”Industri Oleh-oleh Khas Sulit Air”-nya, perjalanan berlanjut

ke Lurah Kayu Paik, lalu obyek wisata air ”Guok Tojun” Timbulun

Timbulun terutama masyhur dengan tambang batubaranya,

yang diangkut ke Padang, juga dibutuhkan untuk membangkitkan pusat tenaga listrik di PLTU Pisalak

Habis Pisalak, memutar kekiri menempuh jalan raya lingkar utara,

melewati Bukik Sibumbun Betina, Sibumbun Jantan, Limau Puruik.

Di kiri-kanan jalan adalah padang rumput dan penggembalaan hewan Limau Puruik memang tenar sebagai pemasok sapi dan air susu

Dan waktu menuruni jalan ke Lembah Bukik Kumbangan, teratakku

Tepatnya di Gontiang Kok Oru, tiba-tiba taxiku menabrak pohon pulai

Ashtaghfirullah, aku terpelanting ke ......bawah ranjang tempat tidurku

Aku terbangun dan sadar, ooohhh........, aku barusan hanya bermimpi

Mimpikan Sulit Air Nan Jaya, entah kapan dan tahun berapa kelak

Aku rupanya demikian terpengaruh Barack Hussein Obama, si idola Ayah dan ayah tlrinya Muslim, pernah empat tahun tinggaldi Jakarta Menulis ”The American Dreams”, mengimpikan perubahan Amerika

Dan kini berjuang keras memenangkan pemilihan Presiden Amerika

Sedang aku juga mengimpikan perubahan dan kebesaran Sulit Air

Namun aku hanya mampu bermimpi dan menulis puisi:

”The Sulit Air Dreams”.

Related Posts by Categories



Category: |
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 comments:

On August 29, 2018 at 12:30 AM , ABAHKU WONG CERBON said...

alah lamo ndak pulang.....
ambo kiro iyo bana mah.... alah padiah incat mato dek mambacoe ternyata hanya mimpi