”The Sulit Air Dreams”
Oleh : Drs. H. Hamdullah Salim
Pesawat melintasi kawah Gunung Kerinci,
yang kelabu diliputi awan
Dan tidak lama kemudian, sang pramugari pun berseru:
”Please, your attention! Perhatian, perhatian!
dalam waktu tidak berapa lama lagi pesawat ini akan mendarat
di bandar udara ”Padang Riburibu Sulit Air”
Mendengar nama itu hatiku tersentak, darahku berdesir
”Lampu akan dipadamkan. Silakan menghidupkan lampu baca! Sudilah menegakkan sandaran kursi, mengikatkan sabuk pengaman sampai pesawat ini berhenti dengan sempurna!”
Kuambil teropong dan lewat jendela kaca kunikmati panorama alam
Di bawah terhampar Danau Singkarak, airnya biru menyejukkan mata
Duhai.... beriak-riak bergelombang di sapu angin, melambai-lambai,
bak lambaian padi-padi muda di bentangan sawah nan menghijau
Terlihat perahu-perahu nelayan berkayuh menebarkan jala
Dan beberapa ’speed boat” yang berlari dengan cepat
Ini benar-benar pemandangan langka yang jarang kualami
Di seberang, di utara, melintas kereta api, berasap cerobongnya,
sarat membawa penumpang dan batubara
Merambat di rel baja bagaikan rumahgadang berjalan,
begitu gambaran masa kecilku melihat kereta api dari Sitinjau Laut
Oh, cantiknya jembatan Batang Ombilin,
Tempat danau melepas kelebihan air yang meluncur di kolongnya
Di sekitar ada rumah makan, toko, kios lkan bilih dan oleh-oleh,
bus dan kenderaan yang parkir, masih seperti dulu juga
Terlihat juga mesjid pinggir danau di Sumpur yang kukenal dulu
Jauh di atas, di perbukitan terbentang jalan raya Trans Sumatra
Di bawahnya bertebaran villa, tempat wisatawan menikmati danau
Terpancar pesona Bukit Barisan, sumarak ranah Minangkabau
Pesawat semakin merendah dan melambat,
mengambil ancang-ancang, memasuki landasan dari arah Aripan
Di depan mata kini terpampang, indahnya nagari-nagari,
yang dulu disebut Kecamatan Sepuluh Koto di Ateh
Aduhai, nampak Batang Ombilin jalan berliku,
mengalirkan airnya mulai dari Katialo, Paninjauan, Tanjung Balit, akhirnya dengan setia dan sepanjang zaman, dimasukinya
haribaan tanah kelahiranku Sulit Air tercinta.
Dengan bantuan ketiga anaknya Batang Balam, Ompang dan
Batang Siaru, dilayaninya kebutuhan para sanakku,
warga lembah Gunung Merah-Putih,
sebelum bergabung dengan Batang Ombilin, menuju Selat Malaka.
Teropong semakin kurapatkan, mengamati aliran air Batang Katialo,
yang ternyata kini besar, lebar, dan bersih,
dengan air yang melancar deras
Dari sungai itu terbentang beberapa polong air yang dialirkan
menuju sawah, ladang, industri rumah dan pabrik
dan Bukik Sundak Langik di belahan sebelah timur,
Sibumbun Betina, Sibumbun Jantan dan Guok Kumbangan di utara
Guok Tarogoung dan Guok Sarikieh di sebelah barat,
dan Guok Jonggi di penjuru selatan,
bagai tonggak-toggak penjaga nagari, bermandikan cahaya elektrik
bagaikan gadis-gadis bersolek manja hendak ke pesta
Wahai...antara pinggang gunung, bukit dan guguk-guguk itu,
kini terbentang jalan raya, juga bentangan kawat-kawat baja,
tempat lori-lori bergantung dan berlari-lari ria,
tumpangan para wisatawan berhibur diri,
bak lori di Taman Mini atau lori semen Indarung masa dahulu
Di sepanjang batas delapan puluh kilometer persegi ulayat Sulit Air,
bertaburan rumah, pabrik, kampus, kantor, sentra kerajinan rakyat
Surau-surau di sepanjang sungai, mesjid dan sekolah di sana-sini.
Hotel-hotel, obyek-obyek wisata, di beberapa pojok dan simpul
Pesawat pun mendarat mulus di bandara
Padang Riburibu, wahai lintasan jalan kaki masa bocahku,
ke Kacang atau ke Tembok pada masa silam, bila hendak
naik kereta api ke Solok atau Padangpanjang, siapa kira,
engkau jadi begini gagah dan banyak disebut orang sekarang?
Di di tangga pesawat, kulayangkan pandang ke anjungan bandara
Di puncak bangunan yang bergonjong itu,
terpampang suatu baliho besar berhiaskan neon warna-warni:
”Welcome To/ Selamat Datang di Kota Santri dan Wisata Sulit Air”
Membaca baliho itu rasa berdetak lagi jantungku
Di apron, sedang parkir dua pesawat,
dan di ruang tunggu bandara, berlalu lalang macam-macam orang, banyak pula yang berhidung mancung, berkulit bule,
begitu asing mereka bagiku, tidak seorangpun yang kukenal
Petugas bandara yang lelaki berpeci, berbaju gunting cina,
perempuan berlilit dan berbaju kurung, seperti murid PSA masa dulu.
Semua ramah berikan memberikan layanan,
menebarkan senyum, menyebarkan harum
Aku kembali tersenyum ketika naik taxi, namanya ”Sarikie Taxi”
Keluar bandara, terbentang dua jalan besar, ke utara dan ke selatan
Aku pilih jalan ke utara, lewat Bukit Kandung, walau jauh memutar
Di sepanjang jalan toko, rumah, warung, kantor, bengkel, SBPU
Sepuluh menit kemudian bersua suatu kompleks bangunan besar,
amat menggetarkanku : ”Pondok Pesantren Modern Gontor Sulit Air”
Megah dan jombang, menara mesjidnya tinggi menjulang langit
Terlihat ratusan santri berpakaian koko berbaris memenuhi lapangan
Terlihat ruangan kelas berjejer, asrama, aula, dan entah apa lagi,
kini kabarnya telah banyak mencetak ulama dan da’i-da’i kondang.
Di sekitar banyak hotel, tempat bermalam para wisatawan,
para tamu dari nehara-negara Islam pun banyak menginap di situ.
Taxi sampai di pertigaan jalan Bukit Kandung,
di depan dua tanda panah, ke kiri menunjuk Batu Sangkar,
yang kanan mengarah ke Koto Tuo.
Oh, rupanya antara Bukit Kandung dengan Batu Sangkar,
kini terhubung oleh jembatan besar, yang melintasi Batang Ombilin
Supir taxi yang mengatakan demikian, yang juga menjelaskan
dari bandara Padang Riburibu kini ada penerbangan setiap hari ke
Dari Rawang ada kereta api membawa penumpang dan batu bara,
menuju Sawah Lunto, Solok, Padangpanjang dan
dari Sulit Air ke
disambut dengan berbagai atraksi senibudaya Minangkabau
Dari Sulit Air terbentang pula jalan raya angkutan umum menuju
Ombilin, Singkarak, Solok, Sawahlunto, Talawi, dan Batusangkar
Sulit Air sungguh berada dipersimpangan jalan yang amat strategis
Terminal bus di Lapangan Koto Tuo, stasiun kereta api di Rawang
Kami sampai di gapura jalan yang bertuliskan:
”Selamat Datang di Kawasan Wisata Islami Talago Loweh”
Di kanan berdiri anggun kompleks ”Masjid Baitul Makmur” bertingkat
Ah, ingat aku Baharuddin Sutan Malako Cs, yang merintisnya dulu
Akulah dulu yang memberi nama mesjid itu, dan menurut supir taxi
mesjid itu punya kegiatan pendidikan tinggi menghapal Al Qur’an,
pusat pelatihan bela diri, pelatihan seni budaya Minang dan Islam, pusat kajian adat basandi syarak, dan pengajian akbar mingguan bersama da’i-da’i kondang, dari mana-mana jamaah berkunjung
Dari kompleks mesjid itu, samar-samar kudengar lagu kasidah, ditingkahi bunyi talempong, saluang dan puput sarunai, merdu sekali
Telaga di samping mesjid menjadi ”Kolam Renang Talago Loweh”
Terdiri dari tiga bagian terpisah: lelaki, perempuan dan anak-anak
Banyak dikunjungi peminat dari seluruh Sumatra Barat dan Riau
Di depannya berdiri ”Sulit Air International Hotel”, berbintang empat
Talago Loweh penuh toko cendera mata berciri Minang dan Islam
Pada penurunan, ditemui lagi tanda panah penunjuk jalan ke kiri:
”Alai Resort”, ”
Ke kanan adalah: ”Waduk Air Bersih Purangan”,
dengan kemajuan teknologi, menyedot air dari Danau Singkarak, untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Sulit Air
Lalu bertemu lapangan tennis, arena bulutangkis dan pondok wisata
”Sarikieh Taxi” memasuki ”Terminal Bus Koto Tuo”,
yang menempati bekas lapangan Koto Tuo sampai Pasar Koto Tuo, l
stadion pindah ke Lubuk Siami, pasar ke Balik Parik, hebat sekali
Sedang rumah-rumah penduduk banyak pindah ke perbatasan
Aku turun dari taxi, dari suatu pojok di bagian atas terminal kuamati
seluruh penjuru Sulit Air,
Koto Gadang tertutup dengan bangunan bertingkat, perkantoran,
balaikota, balairungsari, DPRD, kantor swasta, dinas-dinas daerah
Pangka Titi dan Mesjid Raya masih seperti yang dulu,
namun ditengah kemegahan Sulit Air, terasa begitu kecil kini
Wisatawan naik jonjang saribu, sampai di Gunung Papan, dan dapat menyeberang ke Guok Muncuong, Sundak Langik, Sibumbun Jantan, Sibumbun Betina dengan lori gantung, berlari-lari riang di angkasa
dan terlihat sepuluh koto di ateh, Danau Singkarak, Batang Ombilin
Taxi bergerak lagi ke lembah Guok Tarogoung kawasan pemukiman
Memasuki jalan raya menuju Tanjung
di kiri Piek Ontang dengan bangunan ”Institut Teknologi Sulit Air”nya
Jauh di seberang terlihat ”Taman Rekreasi Batu Galeh” Taram
Juga ”Sentra Kerajinan Rakyat Guguok Jonggi” dan disebelah kanan
Sarikieh dengan ”Balai Penelitian dan Pembibitan Holtikultura”-nya
Habis Titi Jaruong, aku tersenyum lagi, ingat lagi masa lalu,
di suatu pojok ketemu suatu warung, dengan papan nama:
”Ompiang Badadieh
Kenderaan semakin ramai menuju jalan raya Trans Sumatra
Menjelang Tanjung Alai, kami berbelok kekiri, ke jalan lingkar selatan, melintasi Sarosah, Guok Jagak, Kunik Bolai, Siaru, lembah Gunung Papan, Sundak Langik, dan Rawang,
yang disepanjang kiri-kanan jalannya membentang kolam ikan,
di atasnya berenang kerumunan itik yang tengah bermain jenaka,
kebun sayur mayur dan sawah-sawah nan menghijau, duh sedapnya!
Sundak Langik penuh dengan antena dan perangkat telekomunikasi
Di Rawang ada pabrik briket dan pabrik buah-buahan dalam kaleng
disertai lukisan wisatawan membidik babi dengan senapan buru
Berbelok kembali ke utara, sampailah kami di Gontiang Guok Balang
Bertemu suatu rumah makan besar: ”Simbacang Restaurant”,
yang yang menyadikan menu masakan minuman spesial Sulit Air
Rasa lapar menyeretku berhenti di sini, sambil juga sholat di surau
Halaman parkir penuh sesak dengan kenderaan, tamunya melimpah
Menunya benar-benar khas Sulit Air: gulai ompuok, samba itam, samba panyikek, samba putiek macang, karabu maco, pai mansai,
goriang potai maco, niro, es karambie monuo, es aka kalamponang Kulihat ada tamu yang bergerak jakunnya, cupak-cepong suapnya,
mencopak kuleknya, dan keluar peluh dinginnya,
aku pun merasakan nikmatnya, sampai tiga kali minta tambuh
Di depan melintas kereta api Pisalak-Rawang membawa batu bara
Terdengar bunyi pluitnya, berdentam-dentam rodanya, asyik sekali!
Sesudah makan, kami lewati ”Museum Gontiang Bigau”, kemudian Kubang Duo yang banyak sekolah, Mantagi dan Linawan dengan ”Industri Oleh-oleh Khas Sulit Air”-nya, perjalanan berlanjut
ke Lurah Kayu Paik, lalu obyek wisata air ”Guok Tojun” Timbulun
Timbulun terutama masyhur dengan tambang batubaranya,
yang diangkut ke
Habis Pisalak, memutar kekiri menempuh jalan raya lingkar utara,
melewati Bukik Sibumbun Betina, Sibumbun Jantan, Limau Puruik.
Di kiri-kanan jalan adalah
Dan waktu menuruni jalan ke Lembah Bukik Kumbangan, teratakku
Tepatnya di Gontiang Kok Oru, tiba-tiba taxiku menabrak pohon pulai
Ashtaghfirullah, aku terpelanting ke ......bawah ranjang tempat tidurku
Aku terbangun dan sadar, ooohhh........, aku barusan hanya bermimpi
Mimpikan Sulit Air Nan Jaya, entah kapan dan tahun berapa kelak
Aku rupanya demikian terpengaruh Barack Hussein Obama, si idola Ayah dan ayah tlrinya Muslim, pernah empat tahun tinggaldi Jakarta Menulis ”The American Dreams”, mengimpikan perubahan Amerika
Dan kini berjuang keras memenangkan pemilihan Presiden Amerika
Sedang aku juga mengimpikan perubahan dan kebesaran Sulit Air
Namun aku hanya mampu bermimpi dan menulis puisi:
”The Sulit Air Dreams”.
1 comments:
alah lamo ndak pulang.....
ambo kiro iyo bana mah.... alah padiah incat mato dek mambacoe ternyata hanya mimpi