5:21 PM | Author: Alicia Komputer

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Ujian dan cobaan merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri bagi setiap manusia. Allah menurunkan ujian dan cobaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, baik orang kaya maupun orang miskin. Manusia terkadang diuji dengan kesusahan sebagi mana diuji dengan kesenangan; diuji dengan kekayaan sebagaimana juga diuji dengan kemiskinan; diuji dengan kesehatan sebagaimana halnya diuji dengan suatu penyakit.[1] Semua itu adalah cobaan yang harus kita hadapi.

Di dalam diri manusia terdapat dua naluri asasi, yaitu naluri ingin senang dan ingin selamat. Tetapi dalam mengejar kesenangan dan keselamatan kita selalu dibayangi oleh gangguan-gangguan, sehingga tidak semua yang kita inginkan dapat tercapai. Memang dunia sudah diciptakan Tuhan dalam bentuk berpasang-pasangan; ada siang ada malam, ada panas ada hujan, ada kaya ada miskin, ada sukses ada gagal. Apabila yang diinginkan tidak tercapai, maka kita akan merasa sedih. Oleh karena itu kita harus bersifat sabar.

Akan tetapi, apabila yang diinginkan dapat tercapai, maka kita akan merasa bahagia. Terkadang dalam mengungkapkan kebahagiaan kita sering kali berlebih-lebihan, karena segala sesuatu yang dicapai merupakan jerih payah diri sendiri. Sehingga kita sering menemukan bahaya. Oleh karena itu, Allah memberikan tuntunan kegembiraan itu dalam bentuk syukur.

Di samping itu, banyak orang yang mengatakan bahwa sabar itu adalah rela menerima segala-galanya. Padahal hakekat sifat sabar yang sebenarnya adalah suatu sikap jiwa yang sanggup menerima segala sesuatu yang telah menjadi ketentuan Allah, dibarengi dengan upaya untuk tangguh dalam menghadapinya.[2]

Sedangkan menurut al-Jîlânî sabar itu artinya sikap menyesuaikan diri dengan Allah dalam qada dan takdir-Nya. Sesungguhnya sabar pada waktu yang pertama kali adalah idtirâr (yang tidak dapat diusahakan) dan pada waktu yang kedua kali adalah ikhtiyâr (dapat diusahakan). Jadi, bagi al-Jîlânî kesabaran adalah sesuatu yang tidak akan datang hanya dengan pengakuan saja.[3]

Adakalanya cobaan yang dihadapi manusia sebagai azab atas perbuatan dosanya dan adakalanya untuk menguji kekuatan imannya. Semakin tinggi iman seseorang maka semakin besar cobaan yang dihadapinya. Karena itu, Allah selalu menguji orang yang beriman supaya mereka senantiasa berada di sisi-Nya.

Orang yang mempunyai iman yang kuat akan sanggup menghadapi segala tantangan hidup. Meskipun sedih, duka, dan derita dirasakan oleh manusia, namun semuanya itu tidak akan membuat orang sabar berputus asa. Bagi dia sedih, duka, derita, resah dan sebagainya itu adalah soal biasa, karena manusia tetap akan merasakannya. Jadi, manusia harus sabar dan tabah dalam menghadapi segala tantangan hidup, karena semua itu menandakan bahwa kita adalah manusia yang normal yang memiliki perasaan. Sebab, sedih dan duka tidak pernah menimpa binatang. Binatang tidak pernah bersedih hati selama hidupnya.[4]

Apabila kesabaran dalam menghadapi cobaan tidak dihubungkan dengan iman, maka akan menimbulkan rasa pesimis dan frustasi. Begitupun dalam mengungkapkan kesenangan dan keberhasilan, apabila tidak dihubungkan dengan iman maka akan berlebih-lebihan dan lupa pada yang memberikan nikmat.

Oleh karena itu, kita harus memiliki sifat sabar dan syukur, karena sifat sabar dan syukur tidak dapat dipisahkan. Ketika ditimpa musibah maka kita harus merasakan bahwa musibah itu datangnya dari Allah. Begitu juga ketika mendapat nikmat, maka kita harus bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah.

Dengan ujian dan cobaan akan membuat kita mampu mendalami makna hidup di dunia ini. Seperti ujian kebaikan menuntut manusia untuk bersyukur dan ujian kesulitan menuntut manusia untuk bersabar menghadapinya. Abu Thalib al-Makky mengatakan bahwa, sabar dalam keadaan bencana, syukur dalam keadaan nikmat[5]

Banyak orang yang bersabar, akan tetapi setelah mendapatkan kenikmatan lupa pada yang memberikan nikmat. Supaya kenikmatan semakin bertambah maka kita harus banyak bersyukur, baik ketika ditimpa musibah maupun mendapatkan kenikmatan. Allah berfirman dalam Sûrat Ibrâhîm/14: 7, yaitu

...لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“...Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (Nikmat-Ku) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (Nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”[6]

Salah satu tokoh yang menjelaskan tentang sabar dan syukur adalah Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî pendiri tarekat Qâdiriyyah, yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî al-ghawts atau qutb al-awliyâ’.[7] Dalam dunia tasawuf ia merupakan tokoh yang tidak asing lagi bahkan ajaran-ajaran tasawufnya banyak diminati orang dari berbagai kalangan. Kehidupan mistis, kisah-kisah dan legenda-legenda ajaibnya dapat membuat orang di zamannya merasa penasaran, bahkan pada zaman modern sekarang ini. Di mana-mana orang tua menceritakan riwayat tentang kekeramatannya kepada anak-anak mereka dan hampir di setiap upacara keagamaan tradisional, orang menghadiahkan pembacaan al-Fâtihah kepadanya.[8]

Mengenai sabar dan syukur, pembahasan yang dilakukan al-Jîlânî sangat lengkap. Hal ini, karena beliau tidak hanya membahas sabar dan syukur dari segi hakekatnya saja, tetapi beliau mengklasifikasikan sabar dan syukur serta manfaatnya. Karya beliau seperti al-Fath al-Rabbânî wa al-Faid al-Rahmânî yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Percikan Cahaya Ilahi dan Futûh al-Ghaib yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Penyingkap Kegaiban dapat dijadikan indikasi bahwa perhatiannya terhadap sabar dan syukur sangat besar dan bahasa yang digunakan al-Jîlânî mudah difahami ketimbang para sufi lain.

Di samping itu, yang paling menarik dari kajian ini al-Jîlânî menjelaskan pengaruh sabar dan syukur terhadap iman, sehingga manusia menjadi lebih dekat dengan Allah. Sebagaimana yang dikatakan al-Jîlânî: “Bersabarlah saat datang kesulitan dan ridalah ketika datang ketentuan dan takdir. Bersyukurlah saat datang nikmat. Bila kau dapat melakukan hal-hal tersebut, berbagai penghalang dapat dihilangkan dan kau akan senantiasa “bersahabat” dengan Allah”.[9]

Berdasarkan latar belakang tersebut dan posisi al-Jîlânî yang sangat penting di dunia tasawuf, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji ajarannya secara sistematis dengan judul Skripsi, “Sabar dan Syukur Menurut Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî”.

B. STUDI KEPUSTAKAAN

Sebelum penulis membahas skripsi ini, penulis akan menyebutkan beberapa karya yang berkaitan dengan tokoh al-Jîlânî, karena penulis bukanlah orang yang pertama membahasnya dan penulis telah membaca skripsi dan tesis yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di antara skripsi dan tesis yang berkaitan dengan tokoh al-Jîlânî yaitu:

1. Dzikir Sebagai Metode Penyembuhan Alternatif Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî. Skripsi ini dibahas oleh Agus Wiyanto, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Program Studi Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2004. Dalam skripsinya dijelaskan bahwa, penyakit yang menyerang tubuh sama halnya dengat penyakit yang menyerang hati. Salah satu penyembuhannya yaitu dengan dzikir, karena dzikir merupakan resep paling mujarab yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sebai obat penawar berbagai penyakit, baik yang bersifat rohani maupun jasmani.

2. Konsep Tauhid menurut Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî. Skripsi ini dibahas oleh Umu Atiyah, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Program Studi Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005. Dalam skripsinya dijelaskan bahwa, tauhid bukan hanya diketahui dan dimiliki oleh seseorang, tetapi lebih dari itu, harus dihayati dengan baik dan benar. Kesadaran seseorang akan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah akan muncul dengan sendirinya. Hal ini nampak dalam pelaksanaan ibadah, tingkah laku, sikap perbuatan, dan perkataannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kepercayaan akan aqidah merupakan pokok dan landasan berfikir bagi umat Islam.

3. Corak Tasawuf Syaikh ‛Abd al-Qâdir al-Jîlânî. Tesis ini dibahas oleh Ahmad Mujib, Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 1998. Dalam tesisnya dijelaskan bahwa, ajaran tasawuf falsafi yang hanya sampai batas ma‘rifat berbeda dengan tasawuf falsafi yang dimulai dari batas fanâ’, baqâ’, ittihâd, hulûl, wahdat al-wujûd, insân kâmil dan sejenisnya. Ciri dari tasawuf falsafi yang hanya sampai pada batas ma‘rifat ini sesuai dengan ajaran tasawuf al-Jîlânî yang sangat menekankan aspek akhlak dan tidak meninggalkan ajaran syari‘at serta dilandasi dengan petunjuk al-Qur’ân dan al-Sunnah, sehingga ajaran tasawuf ini diakui oleh ulama ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah yang dikenal sebagai tasawuf Sunni. Sedangkan tasawuf falsafi yang puncaknya dimulai dari fanâ’, baqâ’, ittihâd, hulûl wahdat al-wujûd, insân kâmil dan sejenisnya bertujuan untuk mencapai kemanunggalan antara sufi dan Tuhan. Karena ajaran tasawuf al-Jîlânî tidak sampai kepada fanâ’ dan baqâ’ , maka ungkapan-ungkapan yang ganjil (syatahât), tidak terdapat di dalam ajarannya. Ajaran tasawufnya hanya bertujuan untuk mencapai marifat Allah, yakni melihat keindahan, keagungan, sifat-sifat dan perbuatan Allah melalui lubuk hati yang paling dalam. Dengan demikian, ajaran tasawuf al-Jîlânî bercorak falsafi yang sejalan dengan pandangan ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah yang lebih dikenal dengan tasawuf Sunni.

Dengan demikian, skripsi yang akan dibahas oleh penulis belum ada.

C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

Pembahasan mengenai judul skripsi ini akan dibatasi tentang sabar dan syukur menurut al-Jîlânî. Adapun perumusan masalah dalam skripsi ini adalah Bagaimana sabar dan syukur menurut al-Jîlânî?

D. TUJUAN PENELITIAN

Pembahasan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian yang komprehensif mengenai ajaran tasawuf al-Jîlânî, khususnya tentang sabar dan syukur.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk memperkaya khazanah literatur Islam, khususnya mengenai sabar dan syukur dalam ajaran tasawuf al-Jîlânî.

2. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang sabar dan syukur menurut al-Jîlânî.

E. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode Penelitian Kepustakaan (library research). Sebagai sumber primer yang digunakan yaitu, al-Fath al-Rabbânî wa al-Faid al-Rahmânî dan buku terjemahannya berjudul Percikan Cahaya Ilahi yang diterbitkan oleh Arif B. Iskandar. Futûh al-Ghaib, berhubung penulis tidak menemukan kitab aslinya, maka sumber data primer yang yang penulis gunakan adalah buku terjemahannya dalam bahasa Indonesia berjudul Penyingkap Kegaiban. Buku ini diterjemahkan oleh Syamsu Basyarudin dan Ilyas Hasan dan diterbitkan oleh Mizan Bandung tahun 1995.

Sedangkan sebagai bahan penunjang adalah sumber sekunder yaitu diambil dari buku-buku yang terkait dengan pokok pembahasan ini, diantaranya: Ihyâ’ ‘Ulûmuddin karya al-Ghazâlî, Madarij al-Salikin karya Ibn Qayyim, dan Risalah Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf karya Imam al-Qusyairy.

Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analisis komparatif. Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan dan memaparkan secara objektif pemikiran al-Jîlânî seputar masalah sabar dan syukur berdasarkan referensi yang digunakan. Setelah itu, penulis akan membandingkannya dengan salah satu tokoh tasawuf al-Ghazâlî, sehingga dapat memberikan kejelasan baik bagi penulis khususnya maupun masyarakat pada umumnya.

Adapun teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memberikan gambaran secara garis besar dari seluruh permasalahan yang akan dibahas serta memudahkan dalam menelaahnya, maka penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan, yang dimulai dengan latar belakang masalah untuk mengemukakan alasan penulis membahas topik ini, dilanjutkan dengan studi kepustakaan untuk mengetahui bahwa topik yang penulis bahas tidak sama dengan tulisan-tulisan yang lain. Kemudian pembatasan dan perumusan masalah, hal ini dilakukan supaya pembahasannya lebih terfokus dan dapat menjawab masalah-masalah yang dihadapi. Setelah itu tujuan penelitian, hal ini merupakan pernyataan penulis terhadap hasil yang ingin diperoleh dari kegiatan penelitian, dilanjutkan dengan metodologi penelitian untuk menjelaskan bagaimana cara melakukan penelitian dan melalui pendekatan apa yang dilakukan oleh penulis. Terakhir sistematika penulisan, dalam hal ini penulis akan menjelaskan pembagian bab secara keseluruhan, disertai uraian singkat tentang isi masing-masing bab tersebut.

Bab II penulis akan menjelaskan biografi al-Jîlânî yang bertujuan untuk mengetahui kepribadiannya, yang meliputi riwayat hidup, karya-karya, dan kondisi sosial masyarakat.

Bab III penulis akan menjelaskan pengertian sabar dan syukur secara umum, selanjutnya akan menguraikan doktrin sabar dan syukur dalam al-Qur’ân dan hadîts. Terakhir penulis akan menjelaskan pandangan sabar dan syukur dari berbagai tokoh.

Bab IV penulis akan membahas khusus sabar dan syukur dalam perspektif al-Jîlânî, yang meliputi pengertian sabar dan syukur, klasifikasi sabar dan syukur, manfaat sabar dan syukur, serta pengaruh sabar dan syukur terhadap iman. Terakhir penulis akan menganalisis pandangan sabar dan syukur menurut al-Jîlânî.

Bab V pada bab ini penulis akan menjelaskan kesimpulan yang mengulas isi pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya disertai saran-saran agar penulisan seperti ini dapat dilakukan lebih baik dimasa-masa yang akan datang.


[1] Asma ‘Umar Hasan Fad ‘aq, Sabar: Tinjauan al-Qur’ân dan Hadîs. Penerjemah Nasib Mustofa (Jakarta: Lentera, 1999), h. 18.

[2] Yunasril Ali, Pelita Hidup Menuju Ridho Ilahi (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), h. 83.

[3] Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, al-Fath al-Rabbânî wa al-Faid al-Rahmânî (Bairut:al-Maktabah al-Syaya‘biyyah, 1988), h. 135.

[4] Yunasril Ali, Pelita Hidup Menuju Ridho Ilahi, h. 80.

[5] Asma ‘Umar Hasan Fad ‘aq, Sabar: Tinjauan al-Qur’ân dan Hadîs, h. 189.

[6]Terjemahan dari Departemen Agama Republik Indonesia (Bandung: Diponegoro, 2003), h. 204.

[7] Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam. Penerjemah Solihin Ariato (Bandung: Mizan, 2003), h. 12.

[8] Sri Mulyati, dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), h.27.

[9] al-Jîlânî, Percikan Cahaya Ilahi. Penerjemah Arif B. Iskandar (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 343.

BAB II

BIOGRAFI SYAIKH ‘ABD AL-QÂDIR AL-JÎLÂNÎ

A. Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Abû Muhammad ‘Abdul Qâdir ibn Abî Sâlih, Mûsâ ibn ‘Abdillâh al-Jailî ibn Yahyâ az-Zâhid ibn Muhammad ibn Dâwud ibn Mûsâ ibn ‘Abdillâh ibn Mûsâ ibn ‘Abdillâh al-Mahdhi ibn al-Hasan al-Mutsannâ ibn al-Hasan ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib r.a.[1] Dilahirkan di Naif, Jailan, Irak, pada bulan Ramadhan tahun 470 H., bertepatan dengan tahun 1077 M. Ayahnya bernama Abû Sâlih, seorang yang takwa keturunan hadhrat Imam Hasan r.a., cucu pertama Rasulullah saw., putra sulung Imam ‘Alî r.a., dan Fatimah r.a., putri tercinta Rasulullah. Ibunya bernama Syarifah binti Sayyid ‘Abdullah Saumî, seorang wali yang diyakini masih keturunan Imam Husain r.a., putra kedua Imam ‘Alî r.a., dan Fatimah r.a. Dengan demikian, al-Jîlânî adalah Hasani, sekaligus Husaini.[2]

Al-Jîlânî hidup pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah tengah berkuasa, tepatnya pada sekitar abad ke5 – 6 H. Tanda-tanda bahwa ia kelak akan menjadi seorang tokoh sufi kenamaan sudah terlihat sejak masih kecil, yaitu dilahirkan ketika ibunya sudah berumur 60 tahun, hal ini merupakan sesuatu yang diluar kebiasaan. Pada bulan puasa ia menolak setiap kali disusui oleh ibunya sebelum mata hari terbenam, kebiasaan itu oleh masyarakat sekitarnya disebut sebagai pertanda bahwa telah tiba saatnya berbuka puasa. Pada masa remajanya ia dikenal sebagai anak yang pendiam dan mempunyai sopan santun yang tinggi. Ia suka termenung sambil berfikir dan menunjukkan kecenderungan untuk suka kepada pengalaman-pengalaman mistik. Ketika usianya mencapai 18 tahun ia menjadi orang yang sangat tamak pada ilmu dan ingin selalu bersama orang-orang yang salih.[3]

Pada sekitar tahun 488 H, al-Jîlânî meninggalkan tempat kelahirannya untuk menuntut ilmu di Baghdad. Setelah belajar ilmu-ilmu tradisional di bawah bimbingan guru-gurunya seperti faqih terkemuka dari mazhab Hambâli, Abû Sa‛îd ‘Alî al-Mukharrimî, kemudian ia menemukan seorang guru yang lebih cenderung kepada soal-soal ruhani yang bernama ‘Abdul Khair Hammâd al-Dabbâs. Akibat pertemuannya dengan guru spiritual itu ia malah meninggalkan kota dan mengembara di wilayah gurun Irak selama 25 tahun[4]

Setelah menyelesaikan studi akademis dan pelatihan spiritualnya di Baghdad, ia tidak langsung mengamalkan ilmunya, akan tetapi ia mengucilkan diri dan menghabiskan waktu 11 tahun di reruntuhan bangunan di sekitar Baghdad, jauh dari pergaulan manusia. Kemudian, guru al-Jîlânî yaitu Abû Sa‛îdAli al-Mukharrimî, mempercayakan al-Jîlânî untuk mengembangkan madrasah. Atas perintah gurunya ia mengajarkan beberapa ilmu agama di madrasah dan ribâth. Pada tahun 521 H./1127 M. al-Jîlânî mulai memberikan khutbah pada masyarakt, isi dan gaya khutbahnya membuat orang terpaku dan senang mendengarnya. Khutbah yang disampaikannya terus-menerus membuat reputasinya semakin tinggi dan tersebar diseluruh masyarakat. Semua penulis yang sezaman maupun pada masa berikutnya menyebut-nyebut perannya sebagai pengkhutbah yang memiliki kekuatan luar biasa. al-Jîlânî mengajak manusia secara masal untuk membimbing mereka mengadakan perubahan dalam hidup. Orang yang menghadiri khutbahnya bukan hanya para guru mistik dari dâirah dan zâwiyah saja, bahkan penganut agama Yahudi dan Kristen pun sering menghadiri khutbahnya sehingga hatinya tergerak untuk memeluk Islam di tempat itu dan pada saat itu juga. Hal ini dikarenakan kehebatan ruhaniahnya yang semakin besar sehingga ia disegani oleh orang besar. Seperti dilaporkan putranya, ‘Abd al-Wahhab, ia menyampaikan khutbah tiga kali dalam satu minggu: Selasa Sore dan Jum‘at pagi di madrasahnya, Ahad pagi di ribâthnya. Terdapat 400 rekaman tertulis dari semua yang dikhutbahkannya.[5]

Ketika al-Jîlânî mulai tampil di depan umum, ia memutuskan untuk menikah. Ia menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai 49 anak, yaitu 20 putra dan yang lainnya putri. Empat putranya termasyhur akan kecendekiaan dan kepakarannya, yaitu Syaikh ‘Abdul Wahab, Syaikh Isa, Syaikh ‘Abdul Razaq dan Syaikh Musa.[6] Dengan demikian, al-Jîlânî ingin menunjukkan bahwa kehidupan menjadi seorang sufi bukan berarti tidak boleh menikah, tetapi demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti sunnahnya maka ia menikah.

Pada tahun 528 H al-Jîlânî mendirikan madrasah di ribâth (untuk melaksanakan suluk), yang dibangun dari sedekah dan sumbangan masyarakat. Tempat ini selain tempat kediaman beliau dan keluarganya, digunakan untuk menampung muridnya serta para tamu yang datang dari berbagai daerah untuk menghadiri majlisnya.[7]

Di samping itu, ada beberapa gelar yang diberikan kepada al-Jîlânî untuk menunjukkan kealiman yang dimilikinya. Salah satu gelarnya adalah Ghaus al-Azim atau Sultân al-Auliyâ’, yaitu suatu gelar kewalian tertinggi yang artinya “Penolong Agung” dan “Sultan para Wali”. Nama dan kepribadiannya tidak hanya terkenal di kalangan sufi, akan tetapi juga dikalangan umat Islam pada umumnya.[8]

Al-Jîlânî wafat pada tanggal 11 Rabiul Akhir tahun 561 H./116 M. dalam usia 91 tahun. Ia dimakamkan di Baghdad, Irak, dimana hingga kini makamnya tetap ramai dikunjungi oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Tanggal kewafatannya selalu diperingati oleh penganut tarekat Qâdiriyah dan para pengagungnya yang tersebar di mana-mana. Di India (Pakistan) beliau dikenal sebagai Giarwin Syarif.[9]

B. Karya-Karyanya

Sekian banyak pemikir muslim, al-Jîlânî bukanlah penulis yang produktif. Meski cakupan keilmuan dan pengalaman mistiknya tidak diragukan, tetapi patut disayangkan karena ia tidak mengabadikan pemikirannya dalam sebuah karya tulis. Karya-karyanya yang ada selama ini dinisbatkan kepadanya, tidaklah ditulis langsung oleh beliu melainkan oleh putra-putranya atau murid-muridnya. Tidak didapat informasi mengapa al-Jîlânî kurang berminat dalam tradisi tulis menulis, boleh jadi disebabkan karena ia lebih memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan praktek-praktek tasawuf. Begitupun demikian, setidaknya terdapat tiga buah karya al-Jîlânî yang diperkirakan cukup otentik dibanding dengan karya-karya lainnya, yaitu:

Al-Ghuniyah li Thâlibî Tharîq al-Haqq (Bekal yang Memadai Bagi Para Pencari Jalan Kebenaran), dikenal umum dengan nama Ghunyat al-Thâlibî, sebuah karya komprehensif mengenai kewajiban yang diperintahkan oleh Islam, dan jalan hidup yang islami. Kitab ini ditulis untuk merespon permintaan sahabatnya guna merinci pandangan religiusnya. Pembahasannya mencakup masalah keyakinan, zakat, puasa, dan haji, yang diikuti dengan perincian etika dan kepantasan untuk diteladani dalam kehidupan sehari-hari. Bagian terakhir dari kitab ini memuat penjelasan mengenai ajaran mistiknya diantaranya: keyakinan, ketaatan kepada Tuhan, dan pergaulan dengan masyarakat, beliau juga menginterpretasikan pendekatan religius dan moral. Dalam sebuah bagian, beliau membahas sebuah kelompok yang menurutnya telah menyimpang.[10] Kitab ini merupakan salah satu karya al-Jîlânî yang terkenal seperti yang dikatakan oleh A.J. Arberry, “Banyak diantara tulisan-tulisan, khutbah-khutbah, dan do‛a-do‛a al-Jîlânî yang masih ada. Kitab paling masyhurnya al-Ghuniyah li Thâlibî Tharîq al-Haqq, selama beberapa generasi, menjadi pedoman amalan-malan favorit.”[11]

Al-Fath al-Rabbânî wa al-Faid al-Rahmânî (Pertolongan Tuhan dan Limpahan Yang Maha Pengasih), kitab ini merupakan sebuah rekaman dari 62 khutbahnya selama 545-546/1150-1152 M, yang di dalamnya membahas tentang banyak permasalahan keimanan, keikhlasan, perilaku, dan sebagainya. al-Fath al-Rabbâni adalah karya terbaik bagi al-Jîlânî.[12]

Futûh al-Ghaib (Penyingkap Kegaiban). Khutbah yang termaktub dalam kitab ini memiliki susunan yang tematis, tetapi tanpa disertai dengan penanggalan. Ada kemungkinan bahwa pembahasan dilakukan dalam berbagai kesempatan yang berbeda dan kemudian dikumpulkan bersama-sama dalam satu judul oleh pengumpul pidato tersebut.[13] Kitab ini terdiri dari beberapa artikel, nasehat yang berguna, pemikiran-pemikiran dan pendapat yang berbicara tentang banyak permasalahan seperti pejelasan tentang keadaan dunia, keadaan jiwa dan syahwatnya, dan ketundukan kepada perintah Allah. Kitab ini juga menjelaskan tentang tawakal, rasa takut, harapan, ridha, dan artikel-artikel serta nasehat-nasehat lainnya yang ditujukan kepada anaknya.[14]

C. Kondisi Sosial Masyarakat

Al-Jîlânî lahir dan dididik dalam lingkungan keluarga sufi, kalau kita lihat dari silsilah keturunannya masa kehidupan beliau termasuk masa yang terbaik, karena pada waktu itu Baghdad sangat terkenal dan terdapat kemajuan dalam segala segi kehidupan. Di situ juga tempat pertemuan para filosuf dan ulama, markas para ilmuan dalam bidang ilmu-ilmu fiqih, tafsir, dan hadîts. Di samping sebagai tempat berkembangnya para zahid dan sufi, kota tersebut dijadikan tumpuan orang-orang untuk menambah pengetahuan di bawah bimbingan guru-guru yang sudah terkenal pada masa itu.[15] Dengan demikian, situasi seperti itu dapat mempengaruhi al-Jîlânî menjadi seorang ilmuan dan sufi.

Di samping itu, pada masa al-Jîlânî hidup, telah terjadi kekeruhan politik karena adanya persaingan yang ketat di antara para khalifah di Baghdad dan kelompok Batiniyah di Mesir. Dan karena sebagian penguasa memberikan kebebasan kepada mereka untuk mendirikan kekuasaan sendiri, seperti yang terjadi di Syam, yang kemudian terjadilah persaingan dan pertentangan di antara para penguasa tersebut.[16]

Lantaran adanya perebutan kekuasaan yang sering terjadi di Baghdad, maka rakyat itu telah terpengaruh oleh siapa yang berkuasa pada saat itu, lalu terpaksa mengagungkan mereka dan tunduk di bawah penguasa pada saat itu, sehingga mereka terpecah belah dan sukar untuk bersatu kembali. Mereka terus mengejar kemewahan dunia, merebut harta bendanya untuk memuaskan hawa nafsu mereka yang tidak pernah puas itu. Maka di antara mereka timbul perasaan dengki dan nifak, dendam, benci, dan permusuhan. Hal ini merupakan penyakit masyarakat yang sangat membahayakan bangsa dan agama.[17]

Di samping itu umat Islam banyak bercampur dengan umat-umat lain yang non-muslim. Semua itu menyebabkan adanya bentuk kehidupan sosial yang bervariatif dan tidak berpegang kepada satu pegangan yang sama.[18]

Situasi politik seperti itu memberikan pengaruh terhadap al-Jîlânî, sehingga beliau lebih mengutamakn diri untuk menghabiskan waktunya dalam perkumpulan ilmu, pendidikan, dan rohani, serta menzuhudkan manusia dari perkara-perkara dunia. Di samping itu juga, beliau menawarkan kebangkitan spiritual sebagai obat mujarab bagi segala bentuk penyakit sosial dan mengerahkan seganap tenaga demi memperkuat jaringan spiritual umat yang menurutnya paling menentukan kesejahteraan dan stabilitas tatanan sosial.[19]



[1] Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Percikan Cahaya Ilahi. Penerjemah Arif B Iskandar (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 10.

[2] al-Jîlânî, Penyingkap Kegaiban. Penerjemah Syamsu Basaruddin dan Ilyas Hasan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 25.

[3] al-Jîlânî, Penyingkap Kegaiban, h. 25-26.

[4] al-Jîlânî, Ujar-Ujar Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî. Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: al-Bayan, 1995), h. 22.

[5]Sayyed Hossen Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam. Penerjemah Solihin Ariato (Bandung: Mizan, 2003), h. 14-15.

[6]al-Jîlânî, Penyingkap Kegaiban, h. 35.

[7]al-Jîlânî, Ujar-Ujar Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, h. 22.

[8]al-Jîlânî, Kurnia Rabbânî Limpahan Rahmânî. Penerjemah Sayed Ahmad Semait (Singapura: Pustaka Nasional, 2001), h. 15.

[9]al-Jîlânî, Penyingkap Kegaiban, h. 37.

[10]Nasr, Ensiklopedi Tematis, h. 18.

[11]A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf (Bandung: Mizan, 1995), h. 109.

[12]Dewan Ensiklopedi Islam, Ensilkopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 46.

[13]Nasr, Ensiklopedi Tematis, h. 18.

[14]Sa‘id bin Musfir al-Qathani, Buku Putih. Penerjemah Manirul Abidin (Jakarta: Darul Qolam, 2003), h. 31.

[15]al-Qathani, Buku Putih, h. 6.

[16]al-Jîlânî, Kurnia Rabbani, h. 16.

[17]Nasr, Ensilkopedi Tematis, h. 28

[18]al-Qathani, Buku Putih, h. 7.

[19]al-Qathani, Buku Putih, h. 6.

Related Posts by Categories



Category: |
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: