Showing posts with label Makalah. Show all posts
Showing posts with label Makalah. Show all posts
7:27 PM | Author: Alicia Komputer
PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERWALIAN NIKAH

A. Pengertian Wali dalam Pernikahan

Kata "wali" menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.[1] Sedangkan menurut istilah, kata "wali" mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria). [2]

Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh 'ala Mazaahib Al Arba'ah :

الولى فى النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه٣

"Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.

Wali ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau negara dan yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.

Dalam pembahasan skripsi ini yang akan dibicarakan adalah wali terhadap manusia yang bersifat khusus, yaitu tentang perwalian dalam pernikahannya.
B. Syarat-syarat Wali

Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :

1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)

2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)

3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)

4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)

5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)

6. Tidak sedang ihrom atau umroh.4

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut :

Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam. 5 Allah berfirman:

…ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)

Artinya : " … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141

Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, syarat-syarat menjadi wali adalah :

1. Beragama Islam

2. Baligh

3. Berakal

4. Tidak dipaksa

5. Terang lelakinya

6. Adil (bukan Fasik)

7. Tidak sedang ihrom haji atau umroh

8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah).

9. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.6

Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa persyaratan untuk menjadi wali secara umum adalah :

1. Islam

Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

…ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)

Artinya : " … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141

2. Baligh

Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berpikir dan bertindak secara sadar dan baik.7 Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

عن علي رضي الله عنه عن النبي ص.م. قال : رفع القلم عن أمتى عن ثلاثة : عن النائم حتّى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أبو داود)٨

Artinya: “Dari Ali ra. Dari Nabi SAW. Bersabda : Dibebaskannya tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang sedang tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya”. ( H.R. Abu Daud)

Hadits diatas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat menjadi wali apabila telah dewasa.
3. Laki-laki

Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:

عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها (رواه ابن ماجه والدارقطنى)٩

Artinya: "Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda "wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya"(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni ).

4. Berakal

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya atau gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi wali.

Jadi salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.10
5. Adil

Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.13 Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:

عن عمران بن حصين عن النبي ص.م. قال: لا نكاح إلا بولي وشاهدىعدل (رواه أحمد بن حنبل)١٤

Artinya: "Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil"(HR.Ahmad Ibn Hambal).

Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.
C. Fungsi dan Kedudukan Wali

1. Fungsi Wali

Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.

Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.

Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu (isin-Jawa), maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya.15 Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.

2. Kedudukan wali

Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.

Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:

a. Jumhur ulama, Imam Syafi'I dan Imam Malik

Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).16 Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya:

1. Q.S. An Nur/24 : 3

وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم… (النور\ (٣٢ :٢٤

Artinya : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..." (Q.S. An Nur:24/ 32).

2. Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy'ari.
عن ابى موسى عن ابيه رضي الله تعالى عنهما قال: قال رسول الله ص.م.: لا نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صحه ابن المد ينى و الترمذى وابن حبان)۱۷

Artinya : “Dari Abi Musa Al- Asy'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah SAW bersabda : "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)

Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah

عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أيما إمرأة نكاحت بغير إذن وليهافنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وإن اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه أحمد) ١٨

Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali." (HR. Ahmad).

Hadits diatas mengandung beberapa pengertian

- Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka hukumnya batal

- Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil.

- Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakim.

Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.

b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)

Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang mereka kemukakan antara lain:

1. Q.S. Al- Baqarah : 2/232

وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن ... (البقرة\٢: ٢٣٢)

Artinya : " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…" (Q.S. Al-Baqarah: 2/ 232).

Menurut mereka ayat diatas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.

2. Dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:

عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها, وفى رواية لأبى داود والنسائى : ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمة تستأم (رواه بخرى و مسلم)۱۹

Artinya: " Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: "Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An- Nasa'I: "Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)"(HR. Bukhori dan Muslim).

Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu maka cukup dengan diamnya Hal ini dianggap sebagai jawaban persetujuannya.

Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu'amalat menurut syara', maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.

Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I'tiradh (mencegah perkawinan).

Selanjutnya Imam-imam yang lain pun berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan,20 di antaranya:

a. Daud Dzahiry

Beliau berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis wali menjadi syarat

b. Asy- Sya'bi dan Az- Zuhry

Mereka berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu' dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu', maka wali tidak menjadi syarat.

c. Abu Tsur

Beliau berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.
D. Macam-macam Wali

Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali tersebut.

1. Wali Nasab

Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.

Wali nasab urutannya adalah:

1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas

2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)

3. Saudara laki-laki sebapak

4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung

5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah

6. Paman (saudara dari bapak) kandung

7. Paman (saudara dari bapak) sebapak

8. Anak laki-laki paman kandung

9. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah.21

Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak memenuhi persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan bila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas. Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir.

Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu dapat digantikan oleh wali yang lebih jauh. Seperti dikemukakan di bawah ini:

Wali yang lebih berhak tidak ada, wali yang lebih berhak belum baligh, yang berhak menderita sakit gila, wali yang lebih berhak pikun karena tua, wali yang lebih berhak bisu tidak bisa diterima isyaratnya, wali yang lebih berhak tidak beragama Islam sedangkan wanita itu beragama Islam.22

Jika wali yang lebih berhak tidak ada, maka yang menggantikannya adalah wali yang lebih jauh dengan memperhatikan urutan seperti yang tercantum dalam kutipan tersebut. Bila terjadi di luar ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain, yaitu wali sultan atau hakim.

Wali nasab terbagi dua. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan itu mesti kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali mujbir.23

Wali mujbir yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak perempuannya dengan tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

a. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.

b. Sekufu' antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya

c. Calon suami itu mampu membayar mas kawin

d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti orang buta.

Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa perkawinan dinyatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan tetapi bila salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi maka anak perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum dinikahkan.

Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak dari bapak dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinial.24

2. Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:

a. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.

b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.

c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.

d. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.

e. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.

f. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.25

g. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).

h. Walinya gila atau fasik.26

Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.

3. Wali Muhakkam

Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.

Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.27

Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.

[1] Louis ma'luf, Al munjid, (Beirut: Daarul Masyrik, 1975), h. 919

[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 1007

3Abdurrahman Al Jaziri, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib Al- Arba’ah, (Beirut : Daar Al- Fikr, t.th), Juz 4, h. 29

4 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-Undang dan Hukum Perdata (BW), (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981), h. 28

5 Sayyid Sabiq, Fiqhus sunnah, (Beirut : Dar al Fikr, 1968), Juz VI, h.261

6 Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997/1998), h. 33

7 Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan menurut Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Al Husna, 1986), Cet. Ke I, h. 48

٨ Al San’any, Subul As-Salaam, (Kairo : Dar Ihya’ Al- Turas Al- Araby, 1980), Juz 3, h. 179

8Al San’any, Subul As-Salaam, (Kairo : Dar Ihya’ Al- Turas Al- Araby, 1980), Juz 3, h. 179

9Ibid. h.120

10 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, loc. cit.

13 Zakiah Drajat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid. 2, h.82

14Asy- Syaukani, Nailul ‘Authar Syarh Muntaqal Akhbar, (Libanon: Daar Al- Fikr, 1973), Juz 6, h. 258

15 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), cet. Ke-2, h. 39

16 M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Empat Mazhab, ( Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), Cet. Ke- 15, h. 53

17 Ibnu Hajar Al- Asqolani, Fathu Al- Bary, (Mesir: Mustafa Al- Baby Al- Halaby, 1959), Juz 11, h. 207

18 Imam Ahmad bin Hambal, Al- Musnad, (Beirut: Daar Al- Fikr, 1991), Juz 9, h. 516

19 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah), (Semarang : CV. Asy- Syifa’, 1990),Cet. Ke-1, h. 367

20 Dahlan Idhamy, Asas-asas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, ( Surabaya: Al- Ikhlas, t.th), h.43

21 M. Yunus, op. cit., h. 55

22 Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1987/1988), h. 1022

23 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Islam, (t.t.: t.pn., t.th), h. 65

24 Sayuti Thalib, loc.cit.

25 Pedoman PPN dan Pembantu PPN, op. cit., h. 35

26 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung : Al- Bayan, 1994), Cet ke1, h. 62

27 M. Idris Ramulyo, op. cit., h. 25

Read More..
11:00 AM | Author: Alicia Komputer
A. Sejarah Singkat Berdiri dan Perkembangan Bank Muamalat Indonesia

Ide kongkrit Pendirian Bank Muamalat Indonesia berawal dari loka karya “Bunga Bank dan Perbankan” yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 di Cisarua. Ide ini kemudian lebih dipertegas lagi dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) ke IV MUI di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990 yang mengamanahkan kepada Bapak K.H. Hasan Bahri yang terpilih kembali sebagai Ketua Umum MUI, untuk merealisasikan pendirian Bank Islam tersebut. Setelah itu, MUI membentuk suatu Kelompok Kerja (POKJA) untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tim POKJA ini membentuk Tim Kecil “Penyiapan Buku Panduan Bank Tanpa Bunga”, yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. M. Amin Azis[1].

Hal paling utama dilakukan oleh Tim MUI ini di samping melakukan pendekatan-pendekatan dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait adalah menyelenggarakan pelatihan calon staf melalui Management Development Program (MDP) di Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia (LPPI), Jakarta yang dibuka pada tanggal 29 Maret 1991 oleh Menteri Muda Keuangan, dan meyakinkan beberapa pengusaha muslim untuk jadi pemegang saham pendiri. Untuk membantu kelancaran tugas-tugas MUI ini dibentuklah Tim Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang di bawah Ketua Drs. Karnaen Perwaatmadja, MPA. Tim ini bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut aspek hukum Bank Islam.

Pada tanggal 1 November 1991 terlaksana penandatanganan Akte Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia di Sahid Jaya Hotel dihadapan Notaris Yudo Paripurno, SH. dengan Akte Notaris No.1 tanggal 1 November 1991 (Izin Menteri Kehakiman No. C2.2413.HT.01.01 tanggal 21 Maret 1992/Berita Negara RI tanggal 28 April 1992 No.34)[2]. Pada saat penandatanganan Akte Pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 48 miliar.

Selanjutnya, pada acara silaturahmi pendirian Bank Syari’ah di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut menenm modal senilai Rp 106 miliar. Dengan angka modal awal ini Bank Muamalat mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992 bertepatan dengan tanggal 27 Syawal 1412 H, SK Menteri Keuangan RI No. 1223/MK. 013/1991 tanggal 5 November 1991 diikuti oleh izin usaha keputusan MenKeu RI No. 430/KMK.013/1992 tanggal 24 April 1992[3]. Pada hari Jum’at, 27 Syawal 1412 H, bertepatan dengan tanggal 1 Mei 1992, Menteri Keuangan dan dengan dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia, meresmikan mulai beroperasinya Bank Muamalat dalam upacara “Soft Opening” yag diadakan di Kantor Pusat Bank Muamalat di Gedung Arthaloka, Jl. Jend. Sudirman Kav. 2 Jakarta.

Pada tanggal 27 Oktober 1994, Bank Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa yang semakin memperkokoh posisi perseroan sebagai Bank Syari’ah pertama dan terkemuka di Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan. Pada saat Indonesia dilanda krisis moneter, sektor Perbankan Nasional tergulung oleh kredit macet di segmen korporasi. Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis. Pada tahun 1998, Perseroan mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar.

Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal yang potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999 IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Oleh karenanya, kurun waktu antara tahun 1999 sampai 2002 merupakan masa-masa yang penuh tantangan sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat karena berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba dari upaya dan dedikasi setiap Pegawai Muamalat, ditunjang oleh kepemipinan yang kuat, strategi pengembangan usaha yang tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan Perbankan Syari’ah secara murni.

Diawali dari pengangkatan kepengurusan baru dimana seluruh anggota Direksi diangkat dari dalam tubuh Muamalat, Bank Muamalat kemudian menggelar rencana kerja lima tahun dengan penekanan pada:

1. Restrupegawairisasi asset dan program efisiensi

2. Tidak mengandalkan setoran modal tambahan dari para pemegang saham,

3. Tidak melakukan PHK satu pun terhadap Sumber Daya Insani yang ada, dan dalam hal pemangkasan biaya, tidak memotong hak Pegawai Muamalat sedikit pun,

4. Pemulihan kepercayaan dan rasa percaya diri Pegawai Muamalat menjadi prioritas utama di tahun pertama kepengurusan Direksi baru

5. Peletakan landasan usaha baru dengan menegakkan disiplin kerja Muamalat menjadi agenda utama di tahun kedua, dan

6. Pembangunan tonggak-tonggak usaha dengan menciptakan serta menumbuhkan peluang usaha[4].

B. Visi dan Misi Bank Muamalat Indonesia

  1. Visi

Menjadi Bank Syari’ah utama di Indonesia, dominan di pasar spiritual, dikagumi di pasar rasional.

  1. Misi

Menjadi role model Lembaga Keuangan Syari’ah dunia dengan penekanan pada semangat kewirausahaan, keunggulan manajemen dan orientasi investasi yang inovatif untuk memaksimumkan nilai kepada stakeholder.

C. Tujuan Berdiri Bank Muamalat Indonesia

Adapun tujuan berdiri Bank Muamalat Indonesia yaitu:

  1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi, dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional, antara lain melalui:

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha

b. Meningkatkan kesempatan kerja

c. Meningkatkan penghasilan masyarakt banyak

  1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan, yang selama ini masih cukup banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank karena masih menganggap bahwa bunga bank itu riba.
  2. Mengembangkan lembaga bank dan system Perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat antara lain memperluas jaringan lembaga Perbankan ke daerah-daerah terpencil.
  3. Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomi, berperilaku bisnis dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

D. Struktur Organisasi Bank Muamalat Indonesia

  1. Dewan Pengawas Syari’ah:

a. KH. M. A. Sahal Mahfudh Ketua

b. KH. Ma’ruf Amin Anggota

c. Prof. Dr. Umar Shihab Anggota

d. Prof. Dr. H. Muardi Chatib Anggota

  1. Dewan Komisaris:

a. Drs. H. Abbas Adhar Komisaris Utama

b. Prof. Korkut Ozal Komisaris

c. DR. Ahmed Abisoursour Komisaris

d. H. Iskandar Zulkarnain, SE. Msi Komisaris

e. Drs. Aulia Pohan, MA Komisaris

  1. Direksi:

a. H.A. Riawan Amin, Msc Direktur Utama

b. Ir. H. Arviyan Arifin Direktur

c. H. M. Hidayat, SE, Ak. Direktur

d. Ir. H. Andi Buchari, MM Direktur

e. Drs. U. Saefudin Noer Direktur

  1. Kepala Grup:

a. Afrid Wibisono Administration

b. Avantiono Hadhianto Business Development

c. Muchtar MD. Siswoyo financing Support

d. Zulkarnain Hasibuan Internal Audit

  1. Rapat Umum Pemegang Saham (Shareholders Meeting)

Adalah dewan tertinggi yang ada di Bank Muamalat Indonesia. Tugasnya memimpin rapat pemegan saham serta mengawasi jalannya kegiatan yang dilaksanakan oleh Bank Muamalat Indonesia.

  1. Dewan Komisaris (Board of Commissioner)

Adalah wakil dari pemegang saham yang mempunyai peran sebagai pengawas dan bersama Dewan Direksi merumuskan strategi jangka panjan perusahaan. Adapun tugas Dewan Komisaris adalah sebagai berikut:

1) Mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan Perseroan serta memberi nasihat kepada Dewan Direksi.

2) Melakukan tugas-tugas secara kusus diberikan kepadanya menurut Anggaran Dasar.

3) Melakukan pengawasan aatas tugas-tugas yang diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.

4) Mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran dasar Perseroan serta menyampaikan hasil penilaian serta pendapatnya kepada Rapat Umum Pemegang Saham.

5) Mengikuti perkembangan kegiatan Perseroan, dan dalam hal Perseroan menunjukkan gejala kemunduran, segera melaporkan kepada Rapat Umum Pemegang Saham dengan disertai saran mengenai langkah perbaikan yang harus ditempuh.

6) Memberikan pendapat dan saran kepada Rapat Umum Pemegang Saham mengenai setiap persoalan yang dianggap penting bagi pengelolaan Perseroan.

7) Melakukan tugas-tugas pengawasan lainnya yang ditentukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham dan tugas lain yang berhubungan dengan pemeriksaan dan pengawasan.

  1. Dewan Pengawas Syari’ah (Sharia Supervisory Board)

Dewan Pengawas Syari’ah dalam organisasi bank bersifat independen dan terpisah dari pengurus bank, sehingga tidak mempunyai akses terhadap operasional Bank. Adapun tugas dan wewenang Dewan Pengawas Syari’ah adalah sebagai berikut:

1) Melakukan pengawasan atas produk Perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’ah.

2) Memberikan pedoman dan garis-garis besar Syari’ah.

3) Mengadakan perbaikan atas produk yang tidak sesuai dengan Syari’ah.

4) Memberikan jawaban dalam bentuk fatwa atas permasalahan yang dihadapi pihak eksekutif dan operasi.

5) Memeriksa Buku Laporan Tahunan dan kesesuaian Syari’ah disemua produk dan operasi selama tahun berjalan.

6) Memberikan nasihat kepada Direksi dan Komisaris agaar seluruh kegiatan Perbankan sesuai dengan Syari’ah Islam.

  1. Operation Director

Mempunyai wewenang dan tanggung jawab membuat kebijakan khususnya dalam bidang operasional, melaksanakan koordinasi dan pembinaan bawahan serta pengawasan kegiatan operasional. Tugas pokok Direksi adalah:

1) Memimpin dan mengurus Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan dan senantias berusaha meningkatkan efisiensi dan efektifitas Perseroan.

2) Menguasai, memelihara dan mengurus kekayaan Perseroan.

  1. Administration Group

Ruang lingkup kerja:

1) melakukaan supervisi dan monitoring terhadap segenap Kantor Cabang atas pelaksanaan atau jalannya operasional.

2) Melakukan konsolidasi terhadap pembuatan dan monitoring Laporan-laporan Bulanan Keuangan Bank dan menyampaikannya pada pihak intern atau ekstern yang berkepentingan.

3) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan repegawaiitmen dan seleksi calon karyawan, proses administrasi kegiatan penempatan dan penempatan kembali karyawan, proses terminasi atau pengunduran diri karyawan serta memonitor dan memeliharaa data base kepersonaliaan.

4) Melakuakn proses dan administrasi pembiayaan karyawan, pembayaran gaji serta pembayaran JAMSOSTEK dan pajak (pph 21) seluruh karyawan serta pengurus Bank.

5) Melakuakn koordinasi dalam penyediaan sarana logistik dalam rangka persiapan pembukaan atau pengembangan Kantor Cabang meliputi jaringan komuniaksi dan sarana penunjang operasional lainnya.

6) Melakukan koordinasi terhadap pengelola sistem komunikasi data untuk mendukung operasional online pusat pengolahan data keseluruhan Cabang Bank Muamalat Indonesia serta berkoordinasi dengan pihak ekstern.

  1. Corporate Support Group

Ruang lingkup kerja:

1) Menyiapkan dan melaksanakan legal action atas kebijakan manajemen.

2) Memberikan masukan dalam penyusunan manual, prodik, akad, dan keputusan yang terkait dengan aspek hokum.

3) Meningkatkan pengetahuan dalam positif masyarakat tentang Bank Muamalat Indonesia.

4) Membangun pendekatan dan citra positif Bank Muamalat Indonesia pada emotional market.

5) Meraih dukungan moril maupun materil dari stakeholder maupun new investor.

  1. Internal Audit Group

Ruang lingkup kerja:

1) Berwenang untuk melakukan akses terhadap catatan karyawan, sumber daya dan dana serta asset bank lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan audit.

2) Memeriksa dan menilai atas kecukupan dari struktur pengendalian intern.

3) Memeriksa dan menilai kualitas kerja dalam melaksanakan tanggung jawab yang telah dilaksanakan.

4) Memberikan saran perbaikan baik untuk kecukupan dan efefktifitas atau kehandalan struktur pengendalian intern maupun perbaikan pelaksanaan.

5) Memberikan informasi dan saran kepada manajemen mengenai hal-hal yang berkaitan dengan upaya menjadikan Bank lebih maju.

  1. Business Development Group

Ruang lingkup kerja:

A. Marketing:

1) Marketing plan dan marketing strategy sebagai guidance bagi Cabang.

2) Bersama financing dan sattlement group membuat target lending dan funding revenue system dan technology.

3) Melakukan pengembangan sistem dan teknologi untuk mendukung operasional Bank.

B. Produk dan Development:

1) Melakukan riset, survey, dan pengembangan produk.

2) Melakukan review produk dan fitur produk.

3) Merumuskan tarif layanan produk.

C. SISOP dan UAT (USSER acceptance Test)

1) Merencanakan, menyusun atau membuat dan memperbaiki prosedur peraturan atau kebijakan pribadi.

2) Menyebarluaskan ketentuan pemerintah seprti SEBI, PP, Undang-undang dan sejenisnya untuk bidang operasi Bank.

3) Sosialisasi dan emplementasi prosedur yang telah dibuat dan direvisi.

4) Memantau dan melakukan supervise terhadap layanan dan operasi selindo, sehingga kualitas layanan dan operasi dapat dipenuhi.

5) Melakukan UAT atas produk atau program yang akan diluncurkan dan disesuaikan dengan manual operasi yang dibuat.

  1. Financing Support Group

Ruang lingkup kerja:

1) Financing Supervision

2) Sharia Financial Iinstitution

3) Financing Product Development

  1. Network and Alliance Group

Ruang lingkup kerja:

1) Network Alliance (POS, Da’I Muamalat, Pegadaian)

2) Shar-E and Gerai Optimizing

3) Virtual Banking Operations (Call Center and Card Center)

E. Produk-produk Bank Muamalat Indonesia

1. Produk Penghimpuanan Dana (Funding Products)

a. Shar­-‘e

Shar-‘e adalah tabungan instan investasi syari’ah yang memadukan kemudahan akses ATM, Debit dan Phone Banking dalam satu kartu dan dapat dibeli di kantor pos seluruh Indonesia. Hanya dengan Rp 125.000, langsung dapat diperoleh satu kartu Shar­-‘e dengan saldo awal tabungan Rp 100.000, sebagai sarana menabung berinvestasi di Bank Muamalat. Shar­-‘e dapat dibeli melalui kantor pos. diinvestasikan hanya untuk usaha halal dengan bagi hasil kompetitif. Tarik tunai bebas biaya di lebih dari 8.888 jaringan ATM BCA/PRIMA dan fasilitas SalaMuamalat. (phone banking 24 jam untuk layanan otomatis cek saldo, informasi history transaksi, transfer antara rekening sampai dengan 50 juta dan berbagai pembayaran).

b. Tabungan Ummat

Merupakan investasi tabungan dengan aqad Mudharabah di Counter Bank Muamalat di seluruh Indonesia maupun di Gerai Muamalat yang penarikannya dapat dilakukan di seluruh Counter Bank Muamalat, ATM Muamalat, jaringan ATM BCA/PRIMA dan jaringan ATM Bersama. Tabungan Ummat dengan Kartu Muamalat juga berfungsi sebagai akses debit di seluruh Merchant Debit BCA/PRIMA di seluruh Indonesia. Nasabah memperoleh bagi hasil yang berasal dari pendapatan Bank atas dana tersebut.

c. Tabungan Haji Arafah

Merupakan tabungan yang dimaksudkan untuk mewujudkan niat nasabah untuk menunaikan ibadah haji. Produk ini akan membantu nasabah untuk merencanakan ibadah haji sesuai dengan kemampuan keuangan dan waktu pelaksanaan yang diinginkan. Dengan fasilitas asuransi jiwa, Insya Allah pelaksanaan ibadah haji tetap terjamin. Dengan keistimewaan tersebut, nasabah Tabungan Arafah bisa memilih jadwal waktu keberangkatannya sendiri dengan setoran tetap tiap bulan, keberangkatan nasabah terjamin dengan asuransi jiwa, apabila penabung meninggal dunia, maka ahli waris otomatis dapat berangkat. Tabungan haji Arafah juga menjamin nasabah untuk memperoleh porsi keberangkatan (sesuai dengan ketentuan Departemen Agama) dengan jumlah dana Rp 32.670.000 (Tiga puluh dua juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah), karena Bank Muamalat telah on-line dengan Siskohat Departemen Agama Republik Indonesia. Tabungan haji Arafah memberikan keamanan lahir batin karena dana yang disimpan akan dikelola secara Syari’ah.

d. Deposito Mudharabah

Merupakan jenis investasi bagi nasabah perorangan dan Badan Hukum dengan bagi hasil yang menarik. Simpanan dana masyarakat akan dikelola melalui pembiayaan kepada sektor riil yang halal dan baik saja, sehingga memberikan bagi hasil yang halal. Tersedia dalam jangka waktu 1, 3, 6 dan 12 bulan.

e. Deposito Fulinves

Merupakan jenis investasi yang dikhususkan bagi nasabah perorangan, dengan jangka waktu enam dan 12 bulan dengan nilai nominal minimal Rp 2.000.000,- atau senilai USD 500 dengan fasilitas asuransi jiwa yang dapat dipergunakan sebagai jaminan pembiayaan atau untuk referensi Bank Muamalat. Nasabah memperoleh bagi hasil yang menarik tiap bulan.

f. Giro Wadi‘ah

Merupakan titipan dana pihak ketiga berupa simpanan giro yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet, giro, dan pemindahbukuan. Diperuntukkan bagi nasabah pribadi maupun perusahaan untuk mendukung aktivitas usaha. Dengan fasilitas kartu ATM dan Debit, tarik tunai bebas biaya di lebih dari 8.888 jaringan ATM BCA/PRIMA dan ATM Bersama, akses di lebih dari 18.000 Merchant Debit BCA/PRIMA dan fasilitas SalaMuamalat. (phone banking 24 jam untuk layanan otomatis cek saldo, informasi history transaksi, transfer antar rekening sampai dengan 50 juta dan berbagai pembayaran).

g. Dana Pensiun Muamalat

Dana Pensiun Muamalat dapat diikuti oleh mereka yang berusia minimal 18 tahun, atau sudah menikah, dan pilihan usia pensiun 45-65 tahun dengan iuran sangat terjangkau, yaitu minimal Rp 20.000 per bulan dan pembayarannya dapat didebet secara otomatis dari rekening Bank Muamalat atau dapat ditransfer dari Bank lain. Peserta juga dapat mengikuti program WASIAT UMMAT, dimana selama masa kepesertaan, peserta dilindungi asuransi jiwa sebesar nilai tertentu dengan premi tertentu. Dengan asuransi ini, keluarga peserta akan memperoleh dana pensiun sebesar yang diproyeksikan sejak awal jika peserta meninggal dunia sebelum memasuki masa pensiun.

2. Produk Penanaman Dana (Invesment Product)

a. Konsep Jual Beli

1) Murabahah

Adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian.

2) Salam

Adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari dimana pembayaran dilakukan di muka/tunai.

3) Istishna

Adalah jual beli barang dimana Shani’ (produsen) ditugaskan untuk membuat suatu barang (pesanan) dari Mustashni’ (pemesan). Istishna’ sama dengan Salam yaitu dari segi obyek pesanannya yang harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus. Perbedaannya hanya pada sistem pembayarannya yaitu Istishna’ pembayaran dapat dilakukan di awal, di tengah atau di akhir pesanan.

b. Konsep Bagi Hasil

1). Musyarakah

Adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung sesuai kesepakatan.

2). Mudharabah

Adalah kerjasama antara bank dengan Mudharib (nasabah) yang mempunyai keahlian atau keterampilan untuk mengelola usaha. Dalam hal ini pemilik modal (Shahibul Maal) menyerahkan modalnya kepada pekerja/pedagang (Mudharib) untuk dikelola.

c. Konsep Sewa

1). Ijarah

Adalah perjanjian antara bank (muajjir) dengan nasabah (mustajir) sebagai penyewa suatu barang milik bank dan bank mendapatkan imbalan jasa atas barang yang disewakannya.

2). Ijarah Muntahia Bittamlik

Adalah perjanjian antara Bank (muajjir) dengan nasabah sebagai penyewa. Mustajir/penyewa setuju akan membayar uang sewa selama masa sewa yang diperjanjikan dan bila sewa selama masa sewa berakhir penyewa mempunyai hak opsi untuk memindahkan kepemilikan obyek sewa tersebut.

3. Produk Jasa (Service Products)

a. Wakalah

Berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat. Secara teknis Perbankan, Wakalah adalah akad pemberian wewenang/kuasa dari lembaga/seseorang ( sebagai pemberi mandat) kepada pihak lain (sebagai wakil) untuk melaksanakan urusan dengan batas kewenangan dan waktu tertentu. Segala hak dan kewajiban yang diemban wakil harus mengatasnamakan yang memberikan kuasa.

b. Kafalah

Merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

c. Hawalah

Adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam pengertian lain, merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.

d. Rahn

Adalah menahan salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana rahn adalah jaminan hutang atau gadai.

e. Qardh

Adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Menurut teknis Perbankan, qardh adalah pemberian pinjaman dari Bank ke nasabah yang dipergunakan untuk kebutuhan mendesak, seperti dana talangan dengan kriteria tertentu dan bukan untuk pinjaman yang bersifat konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan bersama) sebesar pinjaman tanpa ada tambahan keuntungan dan pembayarannya dilakukan secara angsuran atau sekaligus.

1. Jasa Layanan (Services)

a. ATM

Layanan ATM 24 jam yang memudahkan nassabah melakukan penarikan dana tunai, pemindahbukuan antara rekening, pemeriksaan saldo, pembayaran Zakat, Infaq, Sedekah (hanya pada ATM Muamalat), dan tagihan telepon. Untuk penarikan tunai, kartu Muamalat dapat diakses di 8.888 ATM di seluruh Indonesia, terdiri atas mesin ATM Muamalat, ATM BCA/PRIMA dan ATM Bersama, yang bebas biaya penarikan tunai. Kartu Muamalat juga dapat dipakai untuk bertransaksi di 18.000 lebih Merchant Debit BCA/PRIMA. Untuk ATM Bersama dan BCA/PRIMA, saat ini sudah dapat dilakukan transfer antara Bank.

b. SalaMuamalat

Merupakan layanan Phone Banking 24 jam dan call center yang memberikan kemudahan bagi nasabah, setiap saat dan di manapun nasabah berada untuk memperoleh informasi mengenai produk, saldo dan informasi transaksi, transfer antara rekening, serta mengubah PIN.

c. Pembayaran Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS)

Jasa yang memudahkan nasabah dalam membayar ZIS, baik ke lembaga pengelola ZIS Bank Muamalat maupun ke lembaga-lembaga ZIS lainnya yang bekerjasama dengan Bank Muamalat, melalui Phone Banking dan ATM Muamalat di seluruh cabang Bank Muamalat.

d. Jasa-jasa lain

Bank Muamalat juga menyediakan jasa-jasa Perbankan lainnya kepada masyarakat luas, seperti transfer, collection, standing instruction, Bank draft, referensi Bank.



[1] Bank Muamalat Indonesia, Laporan Tahunan 1993, (Jakarta: Bank Muamalat Indonesia, 1993), h. 5

[2] Ibid. h. 7

[3] Ibid. h. 8

[4] Bank Muamalat Indonesia, Laporan Tahunan 2006, (Jakarta: Bank Muamalat Indonesia, 2006), h. 5

Read More..